Lelaki Yang Takut Jatuh Cinta: Belum menikah?" tanya saya pada laki-laki di hadapan saya yang rautnya telah bertambah tua.Yat, teman saya ini, mungkin tak tepat untuk saya sebut sebagai teman sebab usia kami yang terpautbegitu jauh. Garis-garis dewasa-untuk saya menghindari kata tua-begitu nyata saya tangkap dariwajahnya. Kerutan ada di sekitar mata dan pipinya.
la menggeleng. Ini sudah jawaban paling baik yang saya dapatkan. Biasanya, kalau menghadapipertanyaan semacam itu, hanya senyum kecut yang ia berikan dan buru-buru mengajak beranjakpada pembicaraan lain.
Tentu anakmu sudah besar, ya, Wie!" gumamnya seraya menyelai jemari tangan. Mungkin iamenyembunyikan resah.
"°Ya, yang pertama masuk SD tahun ini. Kalau yang kecil, sekarang sudah empat tahun."
"Bahagia?"
Saya pikir, saya tak perlu menjawab pertanyaannya itu sebab definisi bahagia tiap-tiap orangmungkin berbeda. Lagi pula, apakah menjawab ya atau tidak itu sesungguhnya yang menjadipertanyaannya?
Saya hanya menangkap resah itu. Resah yang bisa dibaca nyaris di setiap geraknya, pandangannyayang tidak fokus dan sering berpindah-pindah sebagaimana juga pembicaraannya yang selaluberpindah dari satu topik ke topik yang lain, mengalir begitu deras."Tiga tahun lagi usiaku empat puluh. Sudah tua, ya
Saya segera menghitung umur saya sendiri. Oktober tahun lalu, seperempat abad telah terlampaui,dan saya pun telah merasa napas 'tua' merasuki raga saya. Lantas, apakah saya akan membantahkalimatnya bahwa perbedaan dua belas tahun itu tak cukup menyebutnya tua?
"Manusia boleh tua usia, Mas," hibur saya. "Yang penting, kan, semangatnya. Saya ingin tetapmuda kendati saya sendiri sekarang sudah mulai tua."
"Apa aku cukup pantas diaebut bersemangat muda?" "Kenapa tidak?"
"Hm, entahlah, Wie mungkin takdirku sendiri begini.°"Maksudnya?'°
"Sebenarnya aku ingin menikah, tapi aku selalu takut jatuh cinta."
Lantas, tanpa menunggu reaksi saya atas kalimat yang 'mengejutkan' itu, ia telah berlalu darihadapan saya. la berjalan, menunduk. Dukanya mengais-ngais jalan.
memang terkadang menakutkan. Sungguh wajar baginya untuk mengatakan ia takut jatuhcinta. Yat-begitu biasa dia dipanggil kendati itu bukan potongan dari salah satu suku katapembentuk namanya-memiliki pengalaman yang 'menyakitkan' dalam cinta.
Seperti remaja kebanyakan, saat usia SMA, ia pernah jatuh cinta pada seorang wanita, rekansekelasnya. Cinta monyet, kata orang. Namun untuk ukuran remaja, hubungan percintaan merekaterbilang awet. Cinta pertama yang begitu romantis, saling berkirim surat-kendati berbicaralangsung sebenarnya lebih praktis dan tanpa Maya karena keduanya yang berada dalam satu kelasselama tiga tahun sebagaimana romansa khas remaja.
Namun, di semester terakhir sekolahnya, si wanita menderita sakit parah dan berakhir padakematian, tepat pada saat teman-temannya yang lain menempuh ujian SMA. Irulah yang membuatYat kacau-balau menyelesaikan lembar lembar tes dan membuat ia tak bisa diterima di perguruantinggi mana pun.
Cukup lama Yat dicekam kesedihan oleh kepergian teman dekat tersebut. Diausuh ia yang tak jugamendapat pekerjaan selulus sekolah membuat kondisinya semakin memprihatinkan. Untunglah,pada akhirnya ia menemukan semangat hidup itu dan kembali bisa berdiri untuk memperjuangkanhidupnya. Meski tertatih-tatih, ia bisa keluar dari lingkaran duka itu dan memulai kembalisejarahnya.
Kali ini, tentu saja tidaak ada yang bisa ia harapkan untuk kuliah. Bukan karena biaya, sebabkeluarganya cukup mampu menopang kuliah, asalkan tidak dalam skala kelas atas. Nilalinya-sepertisaya sebutkan-jeblok di penghujung sekolahnya. Oleh karena itu ia memilih untuk terjun langsungdalam bursa kerja. Berbekal ijazah SMA, ia melamar dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.
Saat telah bekerja, ia menjalin hubungan dekat dengan seorang gadis, rekan sekerja. Gadis yangbaik, sopan, lagi cantik rupawan. Orang tuanya telah merasa cocok saat Yat menyatakan inginmenikahi gadis tersebut. Namun apa lancar, belum lagi sampai berlangsung proses lamaran, si gadismenderita sakit parah dan kembali berujung pada kematian.
Yat terguncang. Ini pukulan kedua yang nyaris membuatnya hilang. Semangatnya timbultenggelam. Bergelung dalam kesedlihan itu, tubuhnya yang sempat gemuk itu kembali mengurus.Orang tuanya tak kalah sedih, bukan saja kehilangan calon menantu yang sesungguhnya telahmereka cintai pula, juga oleh ketidakstabilan Yat atas deraan penderitaan itu.
Hari-hari Yat adalah : murung yang murung. Semangat kerjanya hilang, demilkian juga semangathidup. Ini menyebabkan ia dikeluarkan dari pekerjaan, sesuatu yang sampai sekarang tak pernahdisesalinya karena ia tak pernah merasa kehilangan. Jilka ada hal besar yang hilang, kehilangan halkecil menjadi tidak terasa. Itu yang ia rasakan saat dipecat dan membuatnya luntang-lantung,menjadi preman kampung yang kerjanya nongkrong dari waktu ke waktu di perempatan jalan. Kaliini, cukup lama ia menemukan kembali dirinya yang hilang. Cukup sulit untuknya kembali bangkitsetelah tersungkur yang kedua kali.
Melewati usia tiga puluh tahun, ia kembali bekerja. Kali ini, ia menemukan tempat pelarian yangtepat dalam pekerjaan dan menjelma sebagai orang yang gila kerja. Segala pekerjaan dilakoninyauntuk melupakan kepahitan hidup.
Lantas, entah dari mana asalnya, kembali seorang gadis menyentuh kesunyian hatinya.
Kendati mulai ragu dengan perasaannya sendiri, pada akhirnya ia merasa jatuh cinta. Gadis itu telahmampu membuat serta kembali hadir di parasnya yang telah baya. Rasa cinta yang tutus berikutperhatian yang tiada habis membuat Yat kembali yakin untuk menikah. Sungguh, betapa orangtuanya bahagia mendapati anaknya telah memiliki keberanian kembali untuk mencintai seseorang,bahkan begitu perwira berniat untuk menikah.
Tak menunggu lama, lamaran pun digelar. Hari pemikahan ditentukan. Tak perlu menunggu apa punsebab semua telah ada. Sebagai seorang pekerja keras yang selalu lupa waktu jika sudah tenggelamdalam pekerjaan, Yat memiliki segala ikon keduniawian. Bukankah itu kompensasi yang tepat untukkegilaannya pada kerja? Ia tak perlu ribut soal biaya pernikahan sebab uangnya lebih dari cukupuntuk menggelar perhelatan akbar paling bergengsi sekalipun.
Wayang kulit telah dipesan. Janur pun telah didekor dengan meriah berikut segala perhiasan khasorang menikah. Pesta pernikahannya akan diawali dengan upacara akad nikah di siang harinya, dikantor KUA terdekat.
Orang-orang sudah berkumpul di kantor tersebut. Yat dan keluarganya, berikut kerabat saturombongan yang ingin menyaksikan peristiwa bersejarah seorang Yat. Bahagia di wajah masing-masing.
Lantas..waktu beranjak begitu melelahkan dalam penantian. Pengantin putri tak kunjung datang. Kemana? Semua kepala saling berganti melongok ke ujung jalan. Jam di tangan pun telah berapapuluh kali ditengok, berharap jarumnya berhenti agar waktu jangan segera lewat. Jam berganti danresah semakin berakar dalam sunyi.
Lantas, berita itu datang. Petir yang kesekian menyambar hidup Yat berkeping-keping.
"Di rumah sakit!"
Kabar yang pertama.
"Mobil yang membawa rombongan pengantin wanita mengalami kecelakaan di perempatan kota."Kabar yang kedua.
Yat sudah mulai menjerit, bergema bergaung-gaung di ruang hatinya. Dalam pakaian pengantin, iamemburu ke rumah sakit. Benar adanya, si calon mempelai wanita terbaring di sana, bersama nyarisseluruh keluarganya. Semua terluka dalam kecelakaan maut itu. Sementara, mempelai wanita yangduduk di bangku depan mobil, tepat di samping sopir, mengalami luka paling parah. Sopirnyabahkan meninggal.
Kini, si cantik dengan make up terlihat pucat dan dandanan pengantin itu dikalungi begitu banyakselang, infus, dan oksigen bantuan pernapasan. Napasnya satu-satu.
Tak cukup bilangan waktu itu. Maut menjemput segera. Yat tergugu saat garis lurus mewarnaimonitor pendeteksi jantung sang pengantin. Serasa napasnya turut terhenti dan dunianya habis.
Gelap. la meraung di ruang gelap matanya, pingsan.
"Belum menikah, Mas?" tanya saya beberapa tahun lalu dan selalu saya hanya mendapat jawabanserupa, senyum kecut. Lantas, biasanya, disertai sengal dan napas yang berat dihela, ia akanmengajak beranjak pada perbincangan yang lain.
Tapi kali ini saya telah bertekad untuk tidak mau beranjak begitu lekas. Saya masih mencarijawabannya. Akhirnva.
"Aku takut jatuh cinta, Wie! Setiap wanita yang kucintai selalu meninggal dengan cara yang tragis,°` alasannya, dengan pandangan yang segera dibuang ke jurusan lain, selanjutnya memaku ke tanah.Luka yang begitu bernanah. "Itu hanya kebetulan saja, hibur saga, memahami dalamnya duka itu.
"Kebetulan? Tidak cukupkah tiga nyawa menjadi bukti?" "Itu bukan bukti. Nyatanya, tidak adamanusia yang tidak memiliki jodoh. Itu janji Allah."
"Karna engkau tidak mengalami seperti yang kualami."*
Saya tepuk bahunya. "Karena saga bukan orang pilihan, Mas. Engkaulah yang dipilih Allah untuksanggup menghadapi cobaan semacam ini.°"
"Kaucoba membesarkan hatiku?"
"Saya tak perlu membesarkannya sebab sesungguhnya hatimu jauh lebih besar dari yang kauduga.Engkau orang istimewa, Mss, karena itu Allah mengujimu dengan yang begini berat."
"Tapi aku tak akan menikah, Wie, seberapa pun kuatnva engkau merayuku."
"Ini tidak merayu, Mas, karna menikah adalah separo dari agamamu."
Beberapa tahun setelah peristiwa tragis itu.
Saya tidak tahu dari jalan mana hidayah itu datang. Semua memang rahasia. Preman kampung yangsempat luntang lantung itu kini menjadi preman masjid kawakan. Aura religius begitu tertangkap diparasnya yang telah menua.
"Aku melarikan diri ke sini, Wie! Tuhan begitu menenteramkan. Maka, kendati takdirku hidupsendiri, aku merasa tidak kesepian sebab ada Dia yang selalu menemani. Saat sepi, adakah yanglebih indah dari rasa ditemani? Saat berduka, adakah yang lebih nyaman dari rasa berkawan?Sesungguhnya, Dia adalah kawan yang tak pernah pergi, sahabat yang tak pernah berkhianat."
Saya tersenyum, kecut, bahwa dirinya belum juga memiliki keberanian untuk menikah.
"Orang yang kucintai selalu meninggal sebelum menikah."
"Mereka memang bukan jodohmu, Mas, sebab Allahh tengah menyiapkan yang lebih baik, yanglebih pantas untuk orang setegar dirimu."
"Apa itu ada, Wie!"
"Tidak ada manusia yang diciptakan tidak memiliki jodoh, Mas."
"Tapi, bagaimana aku akan menikah, sedangkan aku selalu takut untuk jatuh cinta."
"Mengapa harus takut?"
"Itu pertanyaan konyol. Wie! Engkau tidak mengalami seperti yang aku alami."
"Kalau begitu adanya, mengapa tidak menikah saja dengan orang yang tidak kaucintai?"
"Kau ngaco!"
"Menikah tidak harus diawali dengan cinta, bukan?"
Rautnya telah begitu tua saat duduk di pelaminan. Namun, binar itu, siapa tidak percaya bahwa itubinar yang hanya dimiliki oleh anak muda? Seorang gadis muda duduk menyandingnya di sana.Usia dua mempelai itu terpaut begitu jauh.
Yat, tahun ini menginjak usia tiga puluh delapan tahun, sedangkan ia gadis belum lama beranjakdari angka dua puluh. Keduanya dipertemukan oleh seorang ustaz, melewati masa taaruf singkat,tanpa.sebelumnya saling mengenal. Jodoh memang ajaib. Akhwat yang menyanding Yat ini adalahseorang aktivis dakwah kampus. Belum lagi selesai kuliahnya, tetapi ia mantap mendampingi hidupseorang Yat.
Apa yang akan saya sebutkan dari kebaikan wanita ini? Kaya, rupawan, salihah, mahirah. Memangsungguh, akhwat semacam inilah yang tepat untuk orang setegar dan sehanif Yat. Bukankah Yat takperlu khawatir wanita yang dicintainya akan 'meninggai dunia' sebelum menikah Ya. sebab Yatbaru belaiar 'mencintai' wanita itu setelah ia menikah.
la menggeleng. Ini sudah jawaban paling baik yang saya dapatkan. Biasanya, kalau menghadapipertanyaan semacam itu, hanya senyum kecut yang ia berikan dan buru-buru mengajak beranjakpada pembicaraan lain.
Tentu anakmu sudah besar, ya, Wie!" gumamnya seraya menyelai jemari tangan. Mungkin iamenyembunyikan resah.
"°Ya, yang pertama masuk SD tahun ini. Kalau yang kecil, sekarang sudah empat tahun."
"Bahagia?"
Saya pikir, saya tak perlu menjawab pertanyaannya itu sebab definisi bahagia tiap-tiap orangmungkin berbeda. Lagi pula, apakah menjawab ya atau tidak itu sesungguhnya yang menjadipertanyaannya?
Saya hanya menangkap resah itu. Resah yang bisa dibaca nyaris di setiap geraknya, pandangannyayang tidak fokus dan sering berpindah-pindah sebagaimana juga pembicaraannya yang selaluberpindah dari satu topik ke topik yang lain, mengalir begitu deras."Tiga tahun lagi usiaku empat puluh. Sudah tua, ya
Saya segera menghitung umur saya sendiri. Oktober tahun lalu, seperempat abad telah terlampaui,dan saya pun telah merasa napas 'tua' merasuki raga saya. Lantas, apakah saya akan membantahkalimatnya bahwa perbedaan dua belas tahun itu tak cukup menyebutnya tua?
"Manusia boleh tua usia, Mas," hibur saya. "Yang penting, kan, semangatnya. Saya ingin tetapmuda kendati saya sendiri sekarang sudah mulai tua."
"Apa aku cukup pantas diaebut bersemangat muda?" "Kenapa tidak?"
"Hm, entahlah, Wie mungkin takdirku sendiri begini.°"Maksudnya?'°
"Sebenarnya aku ingin menikah, tapi aku selalu takut jatuh cinta."
Lantas, tanpa menunggu reaksi saya atas kalimat yang 'mengejutkan' itu, ia telah berlalu darihadapan saya. la berjalan, menunduk. Dukanya mengais-ngais jalan.
memang terkadang menakutkan. Sungguh wajar baginya untuk mengatakan ia takut jatuhcinta. Yat-begitu biasa dia dipanggil kendati itu bukan potongan dari salah satu suku katapembentuk namanya-memiliki pengalaman yang 'menyakitkan' dalam cinta.
Seperti remaja kebanyakan, saat usia SMA, ia pernah jatuh cinta pada seorang wanita, rekansekelasnya. Cinta monyet, kata orang. Namun untuk ukuran remaja, hubungan percintaan merekaterbilang awet. Cinta pertama yang begitu romantis, saling berkirim surat-kendati berbicaralangsung sebenarnya lebih praktis dan tanpa Maya karena keduanya yang berada dalam satu kelasselama tiga tahun sebagaimana romansa khas remaja.
Namun, di semester terakhir sekolahnya, si wanita menderita sakit parah dan berakhir padakematian, tepat pada saat teman-temannya yang lain menempuh ujian SMA. Irulah yang membuatYat kacau-balau menyelesaikan lembar lembar tes dan membuat ia tak bisa diterima di perguruantinggi mana pun.
Cukup lama Yat dicekam kesedihan oleh kepergian teman dekat tersebut. Diausuh ia yang tak jugamendapat pekerjaan selulus sekolah membuat kondisinya semakin memprihatinkan. Untunglah,pada akhirnya ia menemukan semangat hidup itu dan kembali bisa berdiri untuk memperjuangkanhidupnya. Meski tertatih-tatih, ia bisa keluar dari lingkaran duka itu dan memulai kembalisejarahnya.
Kali ini, tentu saja tidaak ada yang bisa ia harapkan untuk kuliah. Bukan karena biaya, sebabkeluarganya cukup mampu menopang kuliah, asalkan tidak dalam skala kelas atas. Nilalinya-sepertisaya sebutkan-jeblok di penghujung sekolahnya. Oleh karena itu ia memilih untuk terjun langsungdalam bursa kerja. Berbekal ijazah SMA, ia melamar dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.
Saat telah bekerja, ia menjalin hubungan dekat dengan seorang gadis, rekan sekerja. Gadis yangbaik, sopan, lagi cantik rupawan. Orang tuanya telah merasa cocok saat Yat menyatakan inginmenikahi gadis tersebut. Namun apa lancar, belum lagi sampai berlangsung proses lamaran, si gadismenderita sakit parah dan kembali berujung pada kematian.
Yat terguncang. Ini pukulan kedua yang nyaris membuatnya hilang. Semangatnya timbultenggelam. Bergelung dalam kesedlihan itu, tubuhnya yang sempat gemuk itu kembali mengurus.Orang tuanya tak kalah sedih, bukan saja kehilangan calon menantu yang sesungguhnya telahmereka cintai pula, juga oleh ketidakstabilan Yat atas deraan penderitaan itu.
Hari-hari Yat adalah : murung yang murung. Semangat kerjanya hilang, demilkian juga semangathidup. Ini menyebabkan ia dikeluarkan dari pekerjaan, sesuatu yang sampai sekarang tak pernahdisesalinya karena ia tak pernah merasa kehilangan. Jilka ada hal besar yang hilang, kehilangan halkecil menjadi tidak terasa. Itu yang ia rasakan saat dipecat dan membuatnya luntang-lantung,menjadi preman kampung yang kerjanya nongkrong dari waktu ke waktu di perempatan jalan. Kaliini, cukup lama ia menemukan kembali dirinya yang hilang. Cukup sulit untuknya kembali bangkitsetelah tersungkur yang kedua kali.
Melewati usia tiga puluh tahun, ia kembali bekerja. Kali ini, ia menemukan tempat pelarian yangtepat dalam pekerjaan dan menjelma sebagai orang yang gila kerja. Segala pekerjaan dilakoninyauntuk melupakan kepahitan hidup.
Lantas, entah dari mana asalnya, kembali seorang gadis menyentuh kesunyian hatinya.
Kendati mulai ragu dengan perasaannya sendiri, pada akhirnya ia merasa jatuh cinta. Gadis itu telahmampu membuat serta kembali hadir di parasnya yang telah baya. Rasa cinta yang tutus berikutperhatian yang tiada habis membuat Yat kembali yakin untuk menikah. Sungguh, betapa orangtuanya bahagia mendapati anaknya telah memiliki keberanian kembali untuk mencintai seseorang,bahkan begitu perwira berniat untuk menikah.
Tak menunggu lama, lamaran pun digelar. Hari pemikahan ditentukan. Tak perlu menunggu apa punsebab semua telah ada. Sebagai seorang pekerja keras yang selalu lupa waktu jika sudah tenggelamdalam pekerjaan, Yat memiliki segala ikon keduniawian. Bukankah itu kompensasi yang tepat untukkegilaannya pada kerja? Ia tak perlu ribut soal biaya pernikahan sebab uangnya lebih dari cukupuntuk menggelar perhelatan akbar paling bergengsi sekalipun.
Wayang kulit telah dipesan. Janur pun telah didekor dengan meriah berikut segala perhiasan khasorang menikah. Pesta pernikahannya akan diawali dengan upacara akad nikah di siang harinya, dikantor KUA terdekat.
Orang-orang sudah berkumpul di kantor tersebut. Yat dan keluarganya, berikut kerabat saturombongan yang ingin menyaksikan peristiwa bersejarah seorang Yat. Bahagia di wajah masing-masing.
Lantas..waktu beranjak begitu melelahkan dalam penantian. Pengantin putri tak kunjung datang. Kemana? Semua kepala saling berganti melongok ke ujung jalan. Jam di tangan pun telah berapapuluh kali ditengok, berharap jarumnya berhenti agar waktu jangan segera lewat. Jam berganti danresah semakin berakar dalam sunyi.
Lantas, berita itu datang. Petir yang kesekian menyambar hidup Yat berkeping-keping.
"Di rumah sakit!"
Kabar yang pertama.
"Mobil yang membawa rombongan pengantin wanita mengalami kecelakaan di perempatan kota."Kabar yang kedua.
Yat sudah mulai menjerit, bergema bergaung-gaung di ruang hatinya. Dalam pakaian pengantin, iamemburu ke rumah sakit. Benar adanya, si calon mempelai wanita terbaring di sana, bersama nyarisseluruh keluarganya. Semua terluka dalam kecelakaan maut itu. Sementara, mempelai wanita yangduduk di bangku depan mobil, tepat di samping sopir, mengalami luka paling parah. Sopirnyabahkan meninggal.
Kini, si cantik dengan make up terlihat pucat dan dandanan pengantin itu dikalungi begitu banyakselang, infus, dan oksigen bantuan pernapasan. Napasnya satu-satu.
Tak cukup bilangan waktu itu. Maut menjemput segera. Yat tergugu saat garis lurus mewarnaimonitor pendeteksi jantung sang pengantin. Serasa napasnya turut terhenti dan dunianya habis.
Gelap. la meraung di ruang gelap matanya, pingsan.
"Belum menikah, Mas?" tanya saya beberapa tahun lalu dan selalu saya hanya mendapat jawabanserupa, senyum kecut. Lantas, biasanya, disertai sengal dan napas yang berat dihela, ia akanmengajak beranjak pada perbincangan yang lain.
Tapi kali ini saya telah bertekad untuk tidak mau beranjak begitu lekas. Saya masih mencarijawabannya. Akhirnva.
"Aku takut jatuh cinta, Wie! Setiap wanita yang kucintai selalu meninggal dengan cara yang tragis,°` alasannya, dengan pandangan yang segera dibuang ke jurusan lain, selanjutnya memaku ke tanah.Luka yang begitu bernanah. "Itu hanya kebetulan saja, hibur saga, memahami dalamnya duka itu.
"Kebetulan? Tidak cukupkah tiga nyawa menjadi bukti?" "Itu bukan bukti. Nyatanya, tidak adamanusia yang tidak memiliki jodoh. Itu janji Allah."
"Karna engkau tidak mengalami seperti yang kualami."*
Saya tepuk bahunya. "Karena saga bukan orang pilihan, Mas. Engkaulah yang dipilih Allah untuksanggup menghadapi cobaan semacam ini.°"
"Kaucoba membesarkan hatiku?"
"Saya tak perlu membesarkannya sebab sesungguhnya hatimu jauh lebih besar dari yang kauduga.Engkau orang istimewa, Mss, karena itu Allah mengujimu dengan yang begini berat."
"Tapi aku tak akan menikah, Wie, seberapa pun kuatnva engkau merayuku."
"Ini tidak merayu, Mas, karna menikah adalah separo dari agamamu."
Beberapa tahun setelah peristiwa tragis itu.
Saya tidak tahu dari jalan mana hidayah itu datang. Semua memang rahasia. Preman kampung yangsempat luntang lantung itu kini menjadi preman masjid kawakan. Aura religius begitu tertangkap diparasnya yang telah menua.
"Aku melarikan diri ke sini, Wie! Tuhan begitu menenteramkan. Maka, kendati takdirku hidupsendiri, aku merasa tidak kesepian sebab ada Dia yang selalu menemani. Saat sepi, adakah yanglebih indah dari rasa ditemani? Saat berduka, adakah yang lebih nyaman dari rasa berkawan?Sesungguhnya, Dia adalah kawan yang tak pernah pergi, sahabat yang tak pernah berkhianat."
Saya tersenyum, kecut, bahwa dirinya belum juga memiliki keberanian untuk menikah.
"Orang yang kucintai selalu meninggal sebelum menikah."
"Mereka memang bukan jodohmu, Mas, sebab Allahh tengah menyiapkan yang lebih baik, yanglebih pantas untuk orang setegar dirimu."
"Apa itu ada, Wie!"
"Tidak ada manusia yang diciptakan tidak memiliki jodoh, Mas."
"Tapi, bagaimana aku akan menikah, sedangkan aku selalu takut untuk jatuh cinta."
"Mengapa harus takut?"
"Itu pertanyaan konyol. Wie! Engkau tidak mengalami seperti yang aku alami."
"Kalau begitu adanya, mengapa tidak menikah saja dengan orang yang tidak kaucintai?"
"Kau ngaco!"
"Menikah tidak harus diawali dengan cinta, bukan?"
Rautnya telah begitu tua saat duduk di pelaminan. Namun, binar itu, siapa tidak percaya bahwa itubinar yang hanya dimiliki oleh anak muda? Seorang gadis muda duduk menyandingnya di sana.Usia dua mempelai itu terpaut begitu jauh.
Yat, tahun ini menginjak usia tiga puluh delapan tahun, sedangkan ia gadis belum lama beranjakdari angka dua puluh. Keduanya dipertemukan oleh seorang ustaz, melewati masa taaruf singkat,tanpa.sebelumnya saling mengenal. Jodoh memang ajaib. Akhwat yang menyanding Yat ini adalahseorang aktivis dakwah kampus. Belum lagi selesai kuliahnya, tetapi ia mantap mendampingi hidupseorang Yat.
Apa yang akan saya sebutkan dari kebaikan wanita ini? Kaya, rupawan, salihah, mahirah. Memangsungguh, akhwat semacam inilah yang tepat untuk orang setegar dan sehanif Yat. Bukankah Yat takperlu khawatir wanita yang dicintainya akan 'meninggai dunia' sebelum menikah Ya. sebab Yatbaru belaiar 'mencintai' wanita itu setelah ia menikah.
0 comments